KUP Perpajakan
MAKALAH
“Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan”
Disusun untuk
Memenuhi Salah Satu Tugas
Pada Mata
Kuliah Perpajakan
Dosen Pengampu : Agus Arwani, SE, M. Ag.
Disusun Oleh:
1.
Najib Bulatif (2013213058)
2.
Shovi Mumtazaturrohmi (2013215500)
3.
Eky Ayunda Sari
IP (2013215502)
Kelas
Ekos L
PRODI EKONOMI SYARIAH
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
IAIN PEKALONGAN
2017
ABSTRAK
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
Oleh :
Najib Bulatif (2013213058), Shovi Mumtazaturrohmi (2013215500), dan Eky
Ayunda Sari IP (2013215502)
Penulisan makalah ini bertujuan supaya pembaca dapat
lebih memahami tentang perpajakan. Yang menjadi latar belakang penulisan
makalah ini karena masih banyak masyarakat Indonesia yang belum paham akan pajak
dan masih kurangnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak seperti masih
banyaknya wajib pajak yang tidak atau kurang melaporkan kekayaannya serta wajib
pajak yang melakukan usaha yang tidak melaporkan usahanya karena tidak ingin
dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak. Padahal sebagai masyarakat Indonesia
yang baik kita harus melakukan kewajiban kita seperti taat membayar pajak.
Dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sudah
dijelaskan tentang NPWP dan NPPKP serta fungsi, tata cara pendaftarannya, dan
batas waktu pendaftarannya. KUP juga memuat tentang penagihan pajak, pengajuan keberatan
dan banding, kewajiban bagi wajib pajak yang melakukan usaha untuk membuat
pembukuan dan sanksi-sanksi yang dikenakan pada wajib pajak jika terlambat atau
kurang membayar pajak. Dan wajib pajak dapat dikenakan hukuman pidana dan denda
jika melakukan perbuatan yang dapat merugikan pendapatan negara. Dengan adanya
UU KUP masyarakat Indonesia diharapkan bisa lebih memahami tentang perpajakan. Maka
dari itu sebagai wajib pajak harus taat dalam membayar pajak dan jujur dalam
membuat SPT dan melaporkan harta kekayaannya.
Kata kunci : KUP, Perpajakan
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama :
1.
Najib Bulatif (2013213058)
2.
Shovi
Mumtazaturrohmi (2013215500)
3.
Eky Ayunda Sari
IP (2013215502)
Kelas : Ekos L
Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa makalah yang kami buat
bukan plagiat dan hasil karya sendiri. Demikian surat pernyataan yang kami buat
dengan sebenar-benarnya.
Pekalongan,
19 September 2017
Pembuat Laporan/Mahasiswa
Najib Bulatif
NIM
2013213058
Pembuat
Laporan/Mahasiswa Pembuat
Laporan/Mahasiswa
Shovi Mumtazaturrohmi Eky Ayunda Sari IP
NIM
2013215500 NIM
2013215502
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah
SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya dan tanpa halangan suatu apapun.
Sholawat dan salam semoga tetap
tercurahkan kepada bimbingan kita Nabi besar Muhammad SAW. yang telah membawa
umat islam seluruhnya dari dunia Jahiliyah atau dunia kebodohan menuju dunia
keilmuan yang penuh dengan pendidikan.
Makalah yang berjudul Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan di Indonesia ini kami susun guna memenuhi tugas pada
mata kuliah Perpajakan yang diberikan oleh dosen pengampu dan untuk memberikan
wawasan dan pengetahuan bagi pembaca sekalian.
Sebagai penulis kami menyampaikan
terima kasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung jalannya proses
pembuatan makalah ini.
Kami menyadari bahwa makalah ini
masih sangat jauh dari kesempurnaan, maka dari itu kritik serta saran selalu
kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini. Terima kasih.
Pekalongan, 19 September 2017
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pajak merupakan
salah satu pendapatan bagi suatu negara. Disetiap negara pasti memiliki
Undang-undang tersendiri dalam pemungutan pajak. Tidak terkecuali di Indonesia,
Indonesia juga memiliki Undang-undang tentang Perpajakan, karena pajak
merupakan sumber terpenting dalam pendapatan negara dan dipungut dengan
ketentuan dari Undang-undang serta keputusan dari Dirjen Pajak. Untuk mendukung
dan menjalankan perpajakan di Indonesia dibutuhkan kesadaran dalam memahami dan
mengetahui ketentuan Perpajakan yang berlaku di Indonesia. Pemerintah Indonesia
juga melakukan penyempurnaan pada peraturan perundang-undangan perpajakan
dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan negara melalui pajak. Salah satu
peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengalami penyempurnaan yaitu Undang-undang
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Undang-undang KUP ini telah
mengalami beberapa kali perubahan, perubahan yang ketiga atas Undang-undang KUP
terjadi pada tahun 2007. Undang-undang KUP merupakan Undang-undang Perpajakan
yang bersifat formal berisikan hak dan kewajiban dari Wajib Pajak.
Undang-undang KUP tetap menjunjung dasar pemungutan pajak berdasarkan sistem self
assessment. Karena begitu pentingnya Undang-undang KUP dalam menambah
pemahaman tentang perpajakan, maka penulis tertarik untuk membahas tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa pengertian
dari NPWP dan NPPKP?
2.
Apa saja fungsi
NPWP dan NPPKP?
3.
Bagaimana tata
cara mendapatakan NPWP dan NPPKP?
4.
Apa yang
dimaksud dengan SPT, SKP dan STP?
5.
Bagaimana pembukuan
yang harus dibuat bagi Wajib Pajak?
6.
Bagaimana
pemeriksaan dan penyidikan dalam perpajakan?
7.
Bagaimana
pengajuan keberatan dan banding dalam perpajakan?
8.
Bagaimana
penagihan pajak dilakukan?
9.
Apa saja
sanksi-sanksi dalam perpajakan?
10.
Bagaimana
penyelesaian sengketa dalam perpajakan?
C. Tujuan Makalah
1.
Untuk
mengetahui apa itu NPWP dan NPPKP, fungsi NPWP dan NPPKP, serta tata cara
memperoleh NPWP dan NPPKP.
2.
Untuk
mengetahui SPT, SKP dan STP.
3.
Untuk
mengetahui pembukuan dalam perpajakan.
4.
Untuk
mengetahui pemeriksaan dan penyidikan dalam perpajakan.
5.
Untuk
mengetahui pengajuan keberatan dan banding dalam perpajakan.
6.
Untuk
mengetahui penagihan dalam perpajakan.
7.
Untuk
mengetahui sanksi-sanksi dalam perpajakan.
8.
Untuk
mengetahui penyelesaian sengketa dalam perpajakan.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) dan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP)
1. Pengertian NPWP dan NPPKP
Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang
diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang
dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam
melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Wajib pajak yang terdaftar akan
memperoleh NPWP. NPWP sendiri terdiri dari 15 digit, yaitu 9 digit pertama
merupakan kode wajib pajak dan 6 digit berikutnya merupakan kode administrasi
perpajakan.[1]
Nomor
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) adalah nomor identitas wajib pajak
sebagai sarana administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal
wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya, khususnya dalam
hal pemungutan PPN.[2]
2. Fungsi NPWP dan NPPKP
Fungsi NPWP adalah :[3]
a.
Sebagai sarana
dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri
atau identitas wajib pajak sehingga kepada setiap wajib pajak hanya diberikan
satu nomor wajib pajak,
b.
Untuk menjaga
ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam pengawasan administrasi perpajakan,
c.
Untuk keperluan
yang berhubungan dengan dokumen perpajakan sehingga semua yang berhubungan
dengan dokumen perpajakan harus mencantumkan NPWP,
d.
Untuk
mendapatkan pelayanan dari instansi-instansi tertentu yang mewajibkan
mencantumkan NPWP dalam dokumen-dokumen yang diwajibkan , misalnya dokumen
impor (PIB) dan dokumen ekspor (PEB), pinjaman kredit bank dan lain-lain,
e.
Untuk keperluan
pelaporan SPT masa dan tahunan.
Sesuai fungsi,
wajib pajak diharuskan mencantumkan NPWP yang dimiliki dalam hal yang
berhubungan dengan dokumen perpajakan. Jika wajib pajak yang sudah layak
memperoleh NPWP, tetapi tidak mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP maka akan
dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan perpajakan. Wajib pajak
yang tidak punya NPWP dikenakan sanksi berupa diberikan NPWP secara jabatan,
kemudian dilakukan pemeriksaan. Hasil pemeriksaan dapat menimbulkan Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), jika WP sengaja tidak menginginkan NPWP
akan dikenakan sanksi pidana paling lama enam tahun dan denda paling tinggi
empat kali pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar (Pasal 39 UU KUP).[4]
Fungsi NPPKP yaitu
untuk mengetahui identitas Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang sebenarnya, untuk
melaksanakan hak dan kewajiban di bidang PPN dan PPn BM, dan untuk pengawasan
terhadap administrasi perpajakan.[5]
Pengusaha yang
melakukan penjualan barang kena pajak atau jasa kena pajak di atas Rp.
600.000.000, diwajibkan mempunyai NPPKP untuk melakukan pemungutan PPN. Jika WP
tidak menginginkan NPPKP akan dikenakan sanksi berupa NPPKP secara jabatan
bahkan hukuman pidana.
3. Tata Cara Mendaftar NPWP dan
NPPKP
Tata cara pengukuhan dan pemberian NPWP dan NPPKP :[6]
a.
Wajib pajak
yang diberi kuasa khusus yang mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan pengusaha
yang melaporkan kegiatan usaha untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak
wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan formulir pendaftaran ke Kantor
Pelayanan Pajak,
b.
Berdasarkan
formulir pendaftaran tersebut, KPP menerbitkan Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak
dan Surat Keterangan Terdaftar atau Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak,
c.
KPP menerbitkan
Kartu Nomor Pokok Wajib Pajak dan Surat Keterangan Terdaftar paling lama tiga
hari kerja berikutnya setelah permohonan pendaftaran beserta persyaratannya
diterima secara lengkap,
d.
KPP menerbitkan
Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak paling lama tiga hari kerja setelah
pelaporan beserta persyaratannya diterima secara lengkap.
4. Jangka Waktu Pendaftaran NPWP
dan NPPKP
Wajib
pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan wajib pajak badan
diwajibkan mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lama satu bulan setelah
usaha mulai dijalankan sesuai dengan pasal 2 ayat 5 UU KUP jo KEP-DJP
No.161/PJ/2001. Wajib pajak melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai
pegusaha kena pajak (PKP).[7]
Wajib pajak yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, apabila sampai
dengan satu bulan memperoleh penghasilan yang jumlahnya melebihi penghasilan
tidak kena pajak setahun, maka wajib pajak harus mendaftarkan diri untuk
memperoleh NPWP.[8]
B. Surat Pemberitahuan (SPT),
Surat Ketetapan Pajak (SKP), Surat Tagihan Pajak (STP)
1. Surat Pemberitahuan (SPT)
SPT adalah
surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan
pembayaran pajak yang terutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan (Pasal 1 angka 10 UU KUP). Fungsi SPT bagi WP PPh (Pajak Penghasilan)
adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan
jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan melaporkan tentang :[9]
a.
Pembayaran atau
pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri atau melalui pemungutan pihak
lain dalam satu tahun pajak atau bagian tahun pajak,
b.
Pembayaran dari
pemungut tentang pemungutan orang pribadi atau badan lain dalam satu tahun
pajak yang ditentukan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
Fungsi SPT bagi WP PKP adalah sebagai sarana untuk :[10]
a.
melaporkan dan
mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Atas Barang Mewah yang sebenarnya terutang,
b.
melaporkan
tentang pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran,
c.
melaporkan
tentang pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh
Pengusaha Kena Pajak atau melalui pihak lain dalam satu masa pajak, yang
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan perpajakan.
SPT terdiri dari SPT Masa dan SPT Tahunan. SPT Masa adalah SPT
untuk suatu masa pajak, SPT Tahunan adalah SPT untuk suatu tahun pajak. Batas
waktu penyampaian SPT adalah : (i) SPT Masa paling lambat 20 hari setelah akhir
Masa Pajak, (ii) SPT Tahunan paling lambat 3 bulan setelah akhir Tahun Pajak.
Apabila SPT tidak disampaikan sesuai batas waktu, maka akan : (i) diterbitkan
Surat Teguran, (ii) dikenakan sanksi administrasi berupa denda sebesar
Rp.50.000 untuk SPT Masa dan sebesar Rp.100.000 untuk SPT Tahunan. Jika
kekurangan pembayaran pajak yang terutang SPT Tahunan dibayar lunas paling lambat
tanggal 25 bulan ketiga setelah SPT Tahunan berakhir, sebelum SPT disampaikan.
Keterlambatan pembayaran dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar dua
persen per bulan dihitung dari jatuh tempo pembayaran sampai tanggal
pembayaran.[11]
2. Surat Ketetapan Pajak (SKP)
SKP adalah
surat ketetapan yang meliputi Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan atau Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar
atau Surat Ketetapan Pajak Nihil.[12]
a.
Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar (SKPKB), adalah surat ketetapan pajak yang menentukan
besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran
pokok pajak, besarnya sanksi administrasi dan jumlah yang masih harus dibayar.
SKPKB diterbitkan bila hasil pemeriksaan bahwa jumlah pajak yang terutang tidak
atau kurang dibayar, atas kekurangan ini akan dikenakan sanksi administrasi
berupa bunga sebesar dua persen per bulan.
b.
Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan. Penerbitan SKPKBT
dilakukan jika adanya data baru termasuk data yang semula belum terungkap yang
menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak
sebelumnya.[13]
c.
Surat Ketetapan
Pajak Lebih Bayar (SKPLB), adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah
kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada
pajak yang terutang atau tidak seharusnya terutang.
d.
Surat Ketetapan
Pajak Nihil (SKPN), adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok
pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan
tidak ada kredit pajak.
3. Surat Tagihan Pajak (STP)
STP adalah
surat untuk melakukan tagihan pajak atau sanksi administrasi berupa bunga atau
denda. STP mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak.
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan STP apabila:[14]
a.
Pajak
penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar,
b.
Dari hasil
penelitian surat pemberitahuan terbukti pajak kurang dibayar sebagai akibat
salah tulis atau salah hitung,
c.
Wajib pajak
dikenakan sanksi administrasi berupa denda atau bunga,
d.
Pengusaha yang
dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan
perubahannya, tetapi tidak melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan
sebagai Pengusaha Kena Pajak,
e.
Pengusaha yang
tidak dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi membuat Faktur Pajak.
f.
Pengusaha yang
telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak tidak membuat atau membuat Faktur
Pajak, tetapi tidak tepat waktu atau tidak mengisi selengkapnya Faktur Pajak.
C. Kewajiban Pembukuan
Pembukuan
adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan
data dan informasi keuangan yang meliputi aktiva, kewajiban, modal, penghasilan
dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang
ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi
pada setiap tahun pajak berakhir. WP orang pribadi yang melakukan usaha wajib
melakukan pembukuan. Adapun WP yang tidak wajib melakukan pembukuan yaitu:[15]
1.
WP orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha yang menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan diperbolehkan menghitung neto dengan menggunakan
Norma Penghitungan Neto, WP wajib melakukan pencatatan,
2.
WP orang
pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha.
Beberapa hal yang harus diperhatian dalam membuat pembukuan, yaitu:[16]
1.
Pembukuan harus
diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau
kegiatan usaha yang sebenarnya,
2.
Pembukuan
dilaksanakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, huruf Arab, satuan
mata uang Rupiah dan disusun dalam bahasa Indonesia atau bahasa asing yang
diizinkan oleh Menteri Keuangan,
3.
Pembukuan
diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel
kas, stelsel akrual adalah suatu metode perhitungan penghasilan dan biaya dalam
arti penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu
terutang, sedangkan stelsel kas adalah suatu metode yang perhitungannya
didasarkan atas penghasilan yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai,
4.
Perubahan
terhadap metode pembukuan atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari
Direktur Jenderal Pajak,
5.
Pembukuan
sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai aktiva, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian, sehingga dapat dihitung
besarnya pajak terutang,
6.
Pembukuan
dengan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah dapat diselenggarakan oleh WP
setelah mendapat izin Menteri Keuangan,
7.
Buku-buku,
catatan-catatan, dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan dan dokumen lain
wajib disimpan selama 10 tahun di Indonesia, yaitu di tempat kegiatan atau
tempat tinggal WP atau di tempat kedudukan bagi WP badan.
D. Pemeriksaan dan Penyidikan
Pajak
Pemeriksaan
adalah serangkai kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengolah data dan
keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan
untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Pemeriksaan dilakukan oleh Pegawai Negeri Sipil
di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak atau tenaga ahli yang ditunjuk oleh
Direktorat Jenderal Pajak yang diberi tugas, wewenang, dan tanggung jawab untuk
melaksanakan pemeriksaan pajak. Prosedur pemeriksaan pajak sebagai berikut:[17]
1.
Pemeriksaan
bukti permulaan, pemeriksaan pajak untuk mendapatkan bukti permulaan tentang
adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan,
2.
Kertas kerja
pemeriksaan, catatan secara rinci dan jelas yang diselenggarakan oleh pemeriksa
pajak mengenai prosedur pemeriksaan yang ditempuh, pegujian yang dilakukan,
bukti dan keterangan yang dikumpulkan, dan kesimpulan yang diambil sehubungan
dengan pelaksanaan pemeriksaan,
3.
Pembahasan
akhir hasil pemeriksaan (closing conference), pembahasan dilakukan
antara pemeriksa pajak dan wajib pajak atas temuan selama pemeriksaan dan hasil
bahasan temuan tersebut baik yang disetujui maupun tidak, dan dituangkan dalam
berita acara hasil pemeriksaan yang ditandatangani oleh pemeriksa pajak dan
wajib pajak,
4.
Laporan
pemeriksaan pajak, laporan tentang hasil pemeriksaan yang disusun oleh
pemeriksa pajak secara ringkas dan jelas serta sesuai dengan ruang lingkup dan
tujuan pemeriksaan.
Tujuan
pemeriksaan yaitu: (i) untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan
dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan, dan pembinaan kepada wajib
pajak, dan (ii) tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Ruang lingkup pemeriksaan terdiri atas: (i)
pemeriksaan lapangan, meliputi suatu jenis pajak atau seluruh jenis pajak untuk
tahun berjalan atau tahun-tahun sebelumnya atau untuk tujuan lain yang
dilakukan di tempat WP, pemeriksaan lengkap dilaksanakan selama 2 bulan dan
bisa diperpanjang selama 8 bulan sedangkan pemeriksaan sederhana dilaksanakan
selama 1 bulan dan bisa diperpanjang selama 2 bulan. Pemeriksaan ini dilakukan
jika ditemukan indikasi adanya unsur transfer pricing yang memerlukan
pemeriksaan yang mendalam serta butuh waktu yang lama, dan (ii) pemeriksaan
kantor meliputi suatu jenis pajak tertentu baik tahun berjalan atau tahun-tahun
sebelumnya yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak. Pemeriksaan
dilakukan secara sederhana dan dalam jangka waktu 4 minggu serta dapat
diperpanjang selama 6 minggu. Apabila dalam pemeriksaan ditemukan indikasi
tansfer yang mengandung transfer pricing, maka lingkup pemeriksaan
ditingkatkan menjadi pemeriksaan lapangan.[18]
Penyidikan
tindak pidana di bidang perpajakan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan
oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu
membuat terang tindak pidana di bidang perpajakan yang terjadi serta menemukan
tersangkanya. Penyidik adalah Pejabat Pegawai Negeri Sipil yang diberi wewenang
oleh Dirjen Pajak.[19] Penyidik
memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum.
Wewenang penyidik yaitu:[20]
1.
Menerima,
mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan
tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut
menjadi lebih lengkap dan jelas,
2.
Meneliti,
mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang
kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang
perpajakan,
3.
Meminta
keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan
tindak pidana di bidang perpajakan,
4.
Memeriksa
buku-buku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen lain berkenaan dengan tindak
pidana di bidang perpajakan,
5.
Melakukan
penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan
dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut,
6.
Meminta bantuan
tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan,
7.
Memanggil orang
untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi,
8.
Menghentikan penyidikan,
9.
Melakukan
tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang
perpajakan menurut hukum yang bertanggungjawab.
E. Pengajuan Keberatan dan
Banding
Wajib pajak
dapat mengajukan keberatan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
mengemukakan jumlah pajak yang terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau
dipungut atau jumlah rugi menurut perhitungan wajib pajak disertai alasan yang
jelas. Keberatan diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal surat,
tanggal pemotongan atau pemungutan. Wajib pajak juga dapat mengajukan banding
kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Banding diajukan secara tertulis dalam
bahasa Indonesia dan disertai alasan yang jelas, diajukan dalam jangka waktu 3
bulan sejak keputusan diterima dan dilampiri salinan surat keputusan tersebut.[21]
F. Penagihan Pajak
Dalam penagih
pajak pada wajib pajak yang mendasarinya yaitu Surat Tagihan Pajak, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang
masih harus dibayar bertambah. Hak untuk melakukan penagihan pajak termasuk
bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui
waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan
Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.[22]Daluwarsa
penagihan pajak dapat melampaui 5 tahun seperti yang dimaksud dalam Pasal 22
pada tertangguh apabila: (i) diterbitkan Surat Paksa, (ii) ada pengakuan utang
pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung, (iii) diterbitkan
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
Tambahan, (iv) dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.[23]
Penagihan
seketika dan sekaligus dilakukan jika: (i) penanggung pajak akan meninggalkan
Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu; (ii) penanggung pajak
memindahtangankan barang yang dimiliki atau dikuasai dalam rangka menghentikan
atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukannya di
Indonesia; (iii) terdapat tanda-tanda bahwa penanggung pajak akan membubarkan
badan usahanya atau menggabungkan usahanya atau memekarkan usahanya atau
memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya atau melakukan
perubahan betuk lainnya; (iv) badan usaha akan dibubarkan oleh Negara; (v)
terjadi penyitaan atas barang penanggung pajak oleh pihak ketiga atau terdapat
tanda-tanda kepailitan. [24]
G. Sanksi Perpajakan
Sanksi-sanksi
dalam Undang-undang KUP meliputi, bunga 2% per bulan, kenaikan sanksi
administrasi, denda, dan pidana. Sanksi bunga dikenakan karena alasan berikut:
(i) WP terlambat menyetor atau membayar melampaui batas waktu yang telah
ditentukan oleh DJP, dihitung sejak melewati batas penyetoran berakhir sampai
dengan tanggal pembayaran atau diterbitkan STP; (ii) kekurangan pembayaran
pajak akibat pembetulan sendiri dalam jangka waktu dua tahun sesudah
berakhirnya tahun pajak dengan syarat DJP belum melakukan pemeriksaan (pasal 8
ayat 2 UU KUP), dihitung sejak penyampaian SPT berakhir sampai dengan tanggal
pembayaran SPT pembetulan; (iii) kekurangan pembayaran pajak akibat pemeriksaan
pajak yang menimbulkan pajak terutang lebih tinggi (pasal 13 ayat 2 UU KUP),
dihitung sejak saat terutang pajak sampai dengan tanggal penerbitan SKPKB; (iv)
kekurangan pembayaran pajak akibat perpanjangan SPT (pasal 19 ayat 3 UU KUP),
dihitung sejak penyampaian SPT berakhir sampai tanggal pembayaran SPT
perpanjangan; dan (v) kekurangan pembayaran pajak akibat WP membayar lewat
jatuh tempo pembayaran atas pajak yang terutang menurut STP, SKPKB, SKPKBT, dan
tambahan jumlah pajak yang harus dibayar berdasarkan SKP Pembetulan, SK
Keberatan atau Putusan Banding (pasal 19 ayat 1 UU KUP), dihitung dari tanggal
jatuh tempo sampai tanggal diterbitkannya STP. Sanksi administrasi kenaikan
dikenakan karena: (i) dikenakan 50% pada, WP yang tidak menyampaikan SPT dalam dan
setelah ditegur secara tertulis tidak disampaikan pada waktu sebagaimana
ditentukan dalam Surat Teguran, WP tidak
memenuhi kewajibannya, dan WP mengungkapkan ketidakbenaran SPT dengan kemauan
sendiri dan melebihi batas waktu dua tahun serta belum dilakukan pemeriksaan;
(ii) kenaikan 100% pada, untuk PPh pemotongan serta PPN yang tidak menyampaikan
SPT, untuk PPh pemotongan serta PPN yang tidak memenuhi kewajiban, berdasarkan
hasil pemeriksaan dikeluarkan SKPKB atas Keputusan Pengembalian Pendahuluan
Kelebihan Pajak.[25]
Sanksi denda
dikenakan karena: (i) WP tidak atau terlambat menyampaikan SPT masa dikenakan
denda Rp50.000 setiap SPT masa; (ii) WP tidak atau terlambat menyampaikan SPT
tahunan dikenakan denda Rp100.000 setiap SPT tahunan; (iii) denda sebesar 2%
dari dasar pengenaan pajak jika: pengusaha tidak melaporkan kegiatan usaha
untuk dikukuhkan sebagai PKP, bukan PKP membuat faktur pajak, PKP tidak membuat
faktur pajak, dan PKP membuat faktur pajak tetapi tidak lengkap serta tidak
tepat waktu. Sanksi pidana dikenakan karena: (i) WP dengan kealpaannya tidak
menyampaikan SPT atau menyampaikan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap
sehingga dapat menimbulkan kerugian bagi negara dengan ancaman 1 tahun penjara
dan denda setinggi-tingginya dua kali jumlah pajak yang terutang atau kurang
dibayar; (ii) WP dengan sengaja tidak menyampaikan SPT tahunan atau
menyampaikan tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap sehingga dapat
menimbulkan kerugian bagi negara dipidana dengan ancaman 6 tahun penjara dan
denda setinggi-tingginya empat kali jumlah pajak yang terutang atau kurang
dibayar; dan (iii) WP melakukan percobaan untuk menyampaikan SPT tahunan dan
keterangan yang isinya tidak benar atau tidak lengkap dalam rangka mengajukan
restitusi atau melakukan kompensasi pajak dipidana dengan ancaman 6 tahun
penjara dan denda setinggi-tingginya empat kali jumlah restitusi yang dimohon
atau kompensasi yang dilakukan oleh WP.[26]
H. Sengketa dalam
Perpajakan
Bagi Wajib
Pajak yang dengan berbagai alasan tidak memenuhi kewajiban perpajakan yakni
tidak memenuhi kewajiban perpajakan yakni tidak melunasi utang pajak, terdapat
Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1997 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (PPSP). Bagi Wajib Pajak
yang ingin mendapatkan keadilan dalam perpajakan setelah keberatannya ditolak
seluruhnya atau sebagian oleh Direktur Jenderal Pajak terdapat kesempatan untuk
mengajukan Banding berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 Tentang Badan
Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Sebagaimana telah disebutkan di atas,
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 ini telah diubah dan diganti dengan
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak. Di Indonesia, badan
atau lembaga yang mengelola banding Wajib Pajak telah didirikan sejak tahun
1915 berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Staatsblad 1915 No. 707 dengan
nama Raad van Beroep voor Belastingzaken
yang untuk bahasa Indonesia diberi padanan : Majelis Pertimbangan Pajak (MPP).
Ketentuan yang mengatur MPP telah banyak sekali berubah sampai dengan tanggal
31 Desember 1997 yakni dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun
tentang Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP).[27]
Walaupun BPSP
baru berumur beberapa tahun, akan tetapi sesuai dengan semangat reformasi di
Indonesia sejak 1998, Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 tersebut dicabut dan
diganti dengan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak.
Salah satu alasan reformasi Undang-undang Nomor 17 Tahun 1997 adalah karena
undang-undang ini dianggap masih belum dapat menampung rasa keadilan Wajib
Pajak, antara lain karena adanya kewajiban untuk melunasi semua (100%) pajak
yang terutang sebagai salah satu syarat dalam pengajuan Banding sebagaimana
diatur dalam Pasal 38 UU No. 17 Tahun 1997. Ketentuan ini telah diubah
sebagaimana diatur dalam pasal 36 ayat (4) UU No.14 Tahun 2002, dimana Banding
hanya dapat diajukan apabila jumlah yang terutang telah dibayar sebesar 50%.
Pertimbangan lain adalah karena Badan Penyelesaian Sengketa Pajak belum
merupakan badan peradilan yang berpuncak pada Mahkamah Agung.[28]
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
Telah dijelaskan bahwa Wajib Pajak yang telah layak memperoleh NPWP
dan bagi pengusaha yang telah layak juga untuk memperoleh NPPKP wajib
mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dan dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena
Pajak (PKP). Jika Wajib Pajak yang telah layak tidak mendaftarkan diri maka
akan diberikan NPWP dan NPPKP secara jabatan. Sebagai Wajib Pajak juga harus taat
dalam membayar pajak dan melaksanakan prosedur perpajakan sesuai ketentuan
perundang-undangan perpajakan, seperti Wajib Pajak yang melakukan usaha atau
pekerjaan bebas maka wajib melakukan pembukuan berdasarkan Undang-undang KUP
yang berlaku. Di dalam Undang-undang KUP sudah dijelaskan tentang perpajakan,
meliputi NPWP, NPPKP, SPT, SKP, STP, Pengajuan keberatan dan Banding, serta
sanksi-sanksi yang akan diperoleh Wajib Pajak jika tidak taat prosedur
perpajakan. Jika terjadi sengketa dalam perpajakan dapat diselesaikan melalui
Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP).
B. Saran
Dengan membaca makalah ini penulis berharap semoga pembaca lebih
dapat memahami tentang perpajakan sesuai dengan Undang-undang Perpajakan yang
berlaku di Indonesia.
HASIL
DISKUSI
1.
Jika ada dosen
yang mengajar di tiga Universitas dan memiliki usaha resto sampai tiga gerai,
bagaimana pendaftaran dirinya untuk membayar pajak?
Jawab : dosen tersebut harus mendaftarkan diri untuk memperoleh
NPWP dan dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak untuk memperoleh NPPKP karena
usaha sudah berkembang sampai tiga gerai. Jika usahanya masih berskala kecil
maka bisa langsung dilaporkan melalui PPh.
2.
Dalam membuat
NPPKP apakah ada batas minimal untuk mendapatkan NPPKP?
Jawab : untuk memperoleh NPPKP maka pengusaha harus mempunyai
penghasilan di atas Rp600.000.000, jika kurang dari itu maka tidak wajib
mendaaftarkan diri untuk memperoleh NPPKP.
3.
Jika ada badan
usaha milik asing di Indonesia, apakah kena pajak?
Jawab : Badan usaha asing akan terkena pajak jika sudah berdiri
minimal 183 hari.
4.
Bila ada wajib
pajak yang memperoleh sanksi bunga 2% per bulan sampai jumlahnya milyaran,
apakah bisa langsung kena sanksi pidana?
Jawab : Sanksi dilakukan secara bertahap, pertama bisa melalui
surat paksa dan di kenakan sanksi 2% perbulan, dan jika pada bulan kedua tetap
tidak membayar maka dikenakan sanksi kenaikan, selanjutnya jika tetap tidak ada
tanggapan maka wajib pajak bisa dikenakan sanksi pidana.
5.
Apakah sanksi
yang diterima sama jika wajib pajak sengaja tidak membayar pajak dengan yang
membayar tetapi sudah lewat batas waktunya?
Jawab : Sama, karena bukan alasan yang menjadi acuan pemberian
sanksi melainkan batas waktu pembayaran pajak yang diberikan.
6.
Seorang
pengusaha mempunyai penghasilan yang ia simpan di bank dalam negeri dan bank
luar negeri, bagaimana untuk pelaporan pajaknya?
Jawab : Jika penghasilan pengusaha sudah mencapai PKP maka
pengusaha tersebut wajib melaporkan semua penghasilannya yang ia simpan di bank
dalam negeri maupun luar negeri. Atau sebelum di simpan sebaiknya di laporkan
dahulu.
7.
Apa saja syarat
pencabutan NPWP?
Jawab : Wajib pajak meninggal dunia, Penghasilan sudah tidak
mencapai PKP.
8.
Jika seseorang
yang tidak mempunyai penghasilan apakah boleh mendaftarkan diri untuk
memperoleh NPWP?
Jawab : Boleh jika NPWP menjadi salah satu syarat untuk melamar
pekerjaan yang pada akhirnya wajib pajak akan menerima penghasilan dan akan di
kenakan PPh jika penghasilan sudah mencapai PKP.
9.
Bagaimana tata
cara pembayaran pajak yang terutang?
Jawab : jika WP masih memiliki pajak yang terutang maka WP akan
diberikan STP, namun jika waktu pembayaran sudah terlewat dan belum dibayar maka
WP akan diberi Surat Paksa dan dikenakan denda atau sanksi sesuai pelanggaran
yang dibuat oleh WP.
10.
Persyaratan apa
saja yang harus dipenuhi dalam pengajuan keberatan?
Jawab : persyaratan pengajuan keberatan ada beberapa hal yaitu
diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, mengemukakan jumlah pajak yang
terutang atau jumlah pajak yang dipotong atau dipungut atau jumlah rugi menurut
penghitungan wajib pajak dengan disertai alasan-alasan yang menjadi dasar
penghitungan, satu surat keberatan diajukan hanya untuk satu surat ketetapan
pajak untuk satu pemotongan pajak atau untuk satu pemungutan pajak, melunasi
pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah yang telah disetujui
wajib pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, diajukan dalam jangka
waktu 3 bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal
pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga, dan ditandatangani oleh
wajib pajak serta dalam hal surat keberatan ditandatangani oleh bukan wajib
pajak surat keberatan harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sebagaimana
dimaksud dalam pasal 32 UU KUP.
11.
Syarat apa saja
yang dilakukan WP ketika melakukan banding? Serta jelaskan WP melakukan
banding?
Jaawab : jika WP mau mengajukan banding, maka WP harus mengajukan
keberatan terlebih dahulu jika pengajuan keberatan ditolak maka WP dapat
mengajukan banding. WP mengajukan keberatan apabila WP berpendapat bahwa jumlah
rugi, jumlah pajak dan pemotongan atau pemungutan pajak tidak sebagaimana
mestinya. Syarat dalam pengajuan banding
yaitu diajukan dengan surat banding dalam bahasa Indonesia kepada pengadilan
pajak, dan banding diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak tanggal diterima
keputusan yang dibanding, kecuali diatur lain dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan.
DAFTAR
PUSTAKA
Setiawan, Agus dan Basri Musri. 2006. Perpajakan Umum.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Diana, Anastasia dan Lilis Setiawati. 2004. Perpajakan Indonesia
Konsep, Aplikasi, dan penuntun Praktis. Yogyakarta: ANDI Yogyakarta.
Tansuria, Billy Ivan. 2010. Pokok-pokok Ketentuan Umum
Perpajakan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Muljono, Djoko. 2010. Panduan Brevet Pajak Akuntansi Pajak dan
Ketentuan Umum Perpajakan. Yogyakarta: CV. ANDI OFFSET.
Nurmantu, Safri. 2005. Pengantar Perpajakan. Jakarta:
Granit.
Undang-undang KUP dan Peraturan Pelaksanaanya. 2013. Nomor:
PJ.091/KUP/UU/001/2013-00
[1] Anastasia
Diana dan Lilis Setiawati. Perpajakan Indonesia Konsep, Aplikasi, dan
Penuntun Praktis. (Yogyakarta : ANDI Yogyakarta, 2004). Hal 3
[2] Agus
Setiawan dan Basri Musri. Perpajakan Umum. (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2006). Hal 5
[3] Agus
Setiawan dan Basri Musri. Perpajakan Umum...., Hal 2
[4] Agus
Setiawan dan Basri Musri. Perpajakan Umum...., Hal 2
[5]
Tansuria, Billy Ivan. Pokok-pokok Ketentuan
Umum Perpajakan. (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010). Hal 7
[6]
Anastasia Diana dan Lilis Setiawati. Perpajakan Indonesia...., Hal 5
[7] Agus
Setiawan dan Basri Musri. Perpajakan Umum...., Hal 7
[8]
Anastasia Diana dan Lilis Setiawati. Perpajakan Indonesia...., Hal 4
[9] Agus
Setiawan dan Basri Musri. Perpajakan Umum...., Hal 11
[10]
Anastasia Diana dan Lilis Setiawati. Perpajakan Indonesia...., Hal 10
[11]
Anastasia Diana dan Lilis Setiawati. Perpajakan Indonesia...., Hal 9-11
[12]
Anastasia Diana dan Lilis Setiawati. Perpajakan Indonesia...., Hal 16-24
[13] Billy
Ivan Tansuria. Pokok-pokok Ketentuan...., Hal 216
[14] Anastasia
Diana dan Lilis Setiawati. Perpajakan Indonesia...., Hal 24-25
[15]
Anastasia Diana dan Lilis Setiawati. Perpajakan Indonesia...., Hal 31
[16]
Anastasia Diana dan Lilis Setiawati. Perpajakan Indonesia...., Hal 32-33
[17]
Anastasia Diana dan Lilis Setiawati. Perpajakan Indonesia...., Hal 38-39
[18]
Anastasia Diana dan Lilis Setiawati. Perpajakan Indonesia...., Hal 40-41
[19]
Muljono, Djoko. Panduan Brevet Pajak Aakuntansi Pajak dan Ketentuan Umum
Perpajakan. (Yogyakarta : CV ANDI OFFSET, 2010). Hal 134
[20]
Anastasia Diana dan Lilis Setiawati. Perpajakan Indonesia...., Hal 46-47
[21]
Anastasia Diana dan Lilis Setiawati. Perpajakan Indonesia...., Hal 2-29
[22]
Undang-undang KUP dan Peraturan Pelaksanaannya.
2013. Nomor: PJ.091/KUP/UU/001/2013-00. Pasal
22 ayat 1. Hal 64
[23] Undang-undang
KUP dan Peraturan Pelaksanaanya. 2013. Nomor: PJ.091/KUP/UU/001/2013-00.
Pasal 22 ayat 2. Hal 64
[24]
Anastasia Diana dan Lilis Setiawati. Perpajakan Indonesia...., Hal 26
[25] Agus
Setiawan dan Basri Musri. Perpajakan Umum...., Hal 15-16
[26] Agus
Setiawan dan Basri Musri. Perpajakan Umum...., Hal 17-18
[27] Safri
Nurmantu. Pengantar Perpajakan. (Jakarta : Granit, 2005). Hal 27
[28] Safri
Nurmantu. Pengantar Perpajakan...., Hal 28
0 Response to "KUP Perpajakan"
Posting Komentar